Anggota tubuh berserakan dan darah mereka berceceran di antara sisa-sisa makanan yang hendak mereka makan pagi itu. Pembantaian berdarah yang dilakukan penjajah Zionis Israel terhadap keluarga Abu Mu’tiq di Bait Hanun.
“Bu… kapan suara bom itu berhenti?”. “Bu… apakah kita bisa bermain di pantai dan berenang-renang di sana?”. “ Bu… kita pasti bisa bermain sepeda lagi di sekitar rumah”. “Bu… seperti kata Ibu, kita pasti bisa naik mobil menembus pengepungan ini, benarkan, Bu?”
Pertanyaan-pertanyaan itu mengisi benak dan mimpi anak-anak di Gaza. Mereka bertanya dan bertanya pada orang tua mereka, kapan mereka bisa bersuka cita? Apalagi, meski tak terlalu mengerti, setidaknya mereka turut mendengar bila ada perwakilan Gaza yang berangkat ke Kairo Mesir untuk membahas upaya gencatan senjata. Itu tandanya, bagi mereka, ada kebahagiaan setelah itu.
Hanaa, gadis cilik usia lima tahun berteriak gembira, “Akhirnyaaa… aku bisa tidur dengan tenang”. Adiknya, Sholih yang berusia empat tahun menyambut, “Kita bisa bermain dan bersenang-senang lagi”.
Sang Ibu kemudian menjawab kebahagiaan itu, “Ayo sekarang tidur dulu, biar besok pagi kita dengarkan bagaimana berita tentang gencatan senjata. Semoga saja harapan yang kalian harapkan terwujud”. Malam itu, keluarga muslim di Gaza pun terlelap dalam mimpi indahnya tentang suasana yang lebih aman.
Hingga Abu Mu’tiq, sang Ayah, berkata, “Mereka semua merampas semua keluargaku, rumahku sekarang hancur, tak ada penghangat di musim dingin, semuanya hilang. Mereka semua bermimpi tentang gencatan senjata dan pencabutan isolasi Gaza. Mereka juga sudah merencanakan hari libur yang indah. Mereka ingin hidup dengan aman.
Tapi kedengkian dan kebencian Israel telah merampas mereka dan mimpi-mimpi mereka. Mereka semuanya meninggal..”
Semua harapan dan mimpi itu dijawab oleh Zionis Israel dengan berita mengiris hati dengan sembilu. Pagi keesokan harinya, bom Israel sengaja ditembakkan ke rumah Abu Mu’tiq yang terletak di utara Gaza. Anak-anaknya yang ada dalam rumah itu, Mas’ad, Hanaa, Sholih, Radena, semuanya bergelimpangan tanpa nyawa di antara reruntuhan rumah. Seorang tetangga di lokasi mengatakan, “Mereka (korban) saat itu sedang makan ketika serangan menerjang mereka dan serpihan rudal penjajah menyerbu tanpa peringatan merubah jasad mereka menjadi potongan-potongan yang tercabik-cabik”.
Dalam kondisi yang sangat berbahaya, para tetangga yang lain mengevakuasi potongan tubuh dan jasad dengan gerobak, sang Ibu yang penuh luka dan tangis telah juga sampai ke rumah sakit, namun tak beberapa lama ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir, menyusul keempat anaknya. Ia seperti tidak mau berlama-lama tinggal di dunia yang hampa dari senyuman anak-anak yang menjadi buah hatinya.
Hari itu, Bait Hanun, menyelimuti jasad para syuhadanya. Duka kembali menghangat di perkampungan pejuang Palestina yang tak mau tunduk dengan keinginan Israel dan AS yang terbukti haus darah. Ribuan pelayat memenuhi jalan-jalan di wilayah utara Gaza, mereka sengaja datang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada keluarga Abu Mu’tiq yang tewas sekeluarga dibantai serdadu bengis Yahudi.
Ketika menyaksikan jasad istri dan keempat anaknya hendak dimasukkan ke liang lahat, Abu Mu’tiq hanya bisa meletakkan kedua tangannya di kepalanya sambil mengucapkan, “Hasbunallohu wani’mal wakil, laa haula walaa quwwata illa billah..” bibirnya kelu dan hatinya sedih. Yang dia ingat hanya mimpi-mimpi dari rangkaian kisah pilu para keluarga syuhada Palestina.
Keluarga Ali Atha Allah (6 syuhada), keluarga Galia (7 syuhada), keluarga Abu Salamia (9 syuhada), keluarga Abu Mathar (7 syuhada), mereka adalah korban kejahatan pembantaian oleh tangan-tangan pasukan penjajah Israel yang tak mengenal bahasa kecuali kekerasaan dan teror.
Kisah seperti ini sudah sering terjadi, kisah pilu lantaran kita tak bisa mempercayai janji Israel. Memang kita tidak akan pernah mendapati kebenaran dari musuh-musuh Allah . Dan kita pun tidak pernah berharap belas kasih para pembunuh anak-anak dan wanita-wanita di Palestina pertaruhan hidup yang keras yang tidak kita rasakan di sini. Semoga Allah mengokohkan iman mereka dengan balasan surga-Nya dan semoga kita termasuk orang-orang yang tidak keras hati untuk merasakan penderitaan saudara-saudara kita di sana.
Semakin jelas kita rasakan, kita lihat pembantaian demi pembantaian yang terus terjadi ditengah pembicaraan damai dan kejahatan biadab ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa Israel adalah negara teroris yang dipimpin oleh para jendral teroris yang mengincar anak-anak dan wanita. Hampir mencapai angka ratusan lebih korban blokade dan agresi yang dilakukan Israel.
Akankah terus ada kisah pilu di hari-hari berikut?...
BalasHapusapakah kita diam saja melihat saudara kita