Duka nestapa dan putus asa mulai menghinggapi warga Palestina yang terjebak di perbatasan Gaza dan Israel. Sejak mereka melarikan diri beberapa saat setelah Hamas menguasai Jalur Gaza, pekan lalu, belum ada bantuan yang mereka terima.
Sebagian dari mereka sebenarnya bermaksud untuk pergi ke Tepi Barat melalui perbatasan Israel. Namun, Israel menutup semua pintu perbatasan. Para pengungsi pun terjebak di perbatasan tanpa makanan, minuman, dan obat-obatan.
Beberapa dari pengungsi itu sekarat. Salah seorang di antaranya adalah anak Mohammed Sliman al-Hazlin yang masih bayi bernama Baha. Dia mengalami luka bakar pada sepertiga tubuhnya. Tangan dan kakinya rusak berat. Ketika dia bernapas, dari kerongkongannya terdengar suara desisan. Luka itu Baha dapatkan ketika terjadi kebakaran di rumahnya.
Baha membutuhkan perawatan medis segera dan itu hanya bisa dia peroleh di wilayah Israel. Sayangnya, tidak ada akses yang bisa digunakan orangtuanya untuk membawa Baha ke rumah sakit di seberang perbatasan. Pintu perbatasan tetap tertutup untuknya.
Hazlin, ayah Baha, bukannya tidak berusaha mencarikan pertolongan. Dia berkali-kali menghubungi nomor agen penghubung di Palestina untuk mendapatkan akses masuk ke Israel, ke rumah sakit, atau ke petugas medis. Namun, semua panggilan teleponnya tidak dijawab.
"Mereka mengatakan, orang Israel sudah mencatat nama saya. Mana Palang Merah? Mengapa tidak ada satu orang pun yang datang menolong," katanya meratap.
Hazlin hanya bisa menunggu akses masuk untuknya dan Baha. Namun, itu pun tidak pasti. Hazlin kini hanya bisa pasrah dan bersedih melihat keadaan Baha. Dia hanya bisa mengipasi wajah anak laki-lakinya sekadar untuk mengurangi rasa nyeri.
Evakuasi pengungsi Palestina yang sakit atau terluka ke wilayah Israel memang semakin rumit setelah Hamas menduduki Jalur Gaza. Para staf di Kementerian Kesehatan Palestina yang bertugas mengoordinasikan warga Palestina yang membutuhkan perawatan medis di Israel kini tidak bisa menjalankan fungsinya lagi.
Selain Baha dan Hazlin, masih ada ratusan orang lainnya yang menunggu di pintu perbatasan. Di antara mereka adalah Hisham Abu Shaaban, warga Palestina yang beristrikan perempuan Turki. Dia bersama keluarganya bermaksud hijrah ke kota Izmir, Turki, agar bisa hidup dengan tenang dan aman.
"Saya belum tahu apa yang akan saya lakukan di sana. Saya hanya ingin istri dan anak laki-laki saya aman. Beberapa saat setelah saya melihat serangan bom mobil di Gaza, saya (pikir) Gaza akan segera menjadi Irak," ujarnya.
Ada beberapa kelompok orang yang lebih mudah menyeberangi perbatasan meski tidak luka atau sakit. Mereka adalah orang-orang Palestina dengan dwikewarganegaraan, di antaranya yang memiliki paspor AS.
Rupanya, keamanan dan keselamatan memang hanya diperuntukkan bagi golongan tertentu. (AFP/BSW)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar